facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

Kata-Lita

Malam ini, liburanku sudah berjalan satu minggu. Sengaja liburan semester Lima ini tidak kemana-mana karena selain ingin memanjakan diri dirumah, kepikiran juga untuk memperdalam ilmu masak-memasak. Baru satu minggu di Bojonegoro, rasanya sudah kangen sekali dengan kota perantauan, Malang. Betapa aku sangat merindukan kamar kos yang memang tak seluas dan sebagus kamar dirumah, namun disana aku menyelami kesibukanku di kota perantauan, sekaligus mengistirahatkan diriku dari lelahnya kehidupan.
Sudah hampir Tiga tahun menyinggahi kota (yang katanya) dingin. Ya, memang dingin. Kali pertama aku menginjakkan kaki di kota itu, Aku masih ingat betapa dinginnya air yang mengucur dari kran masjid depan kos. Bahkan, semenjak tinggal di kota itu, entah sudah berapa tol*k angin yang terpaksa aku konsumsi karena masuk angin. Namun ternyata, udara dingin hanya bertahan sekitar bulan Juni-Desember di kota tersebut. Entah panas atau dingin, Malang tetaplah kota yang nyaman untuk dihuni.
Bulan-bulan pertama menjadi anak kos memang sangat pelik. Dan kota itu, Malang, menjadi saksi bagaimana aku menjalani hari-hariku sebagai anak kos yang bahagia, tapi juga tidak jarang menderita. Malang menjadi saksi bagaimana aku menangis setiap seusai ditelepon Ibu, atau betapa tidak nyenyaknya tidurku saat itu karena tidak ada suara Tv dan suara dengkuran Ayah. Malang menjadi saksi bagaimana aku keblondrok membeli rak sepatu di Ace hardware. Malang menjadi saksi atas turunnya berat badan dari 40kg menjadi 36kg gara-gara nggak cocok masakan Malang, dimana sayur asem ada kulbisnya, sayur bayem rasanya asin, dan mencari sayur asem-asem di seluruh penjuru Malang tapi hasilnya nihil. Lalu memutuskan membeli magicom, dan betapa bahagianya bisa menanak nasi dan memasak sendiri. Malang menjadi saksi betapa pilunya ketika sudah mencuci baju seabrek, menjemurnya, lalu hujan turun dan meluluh-lantahkan jemuranku. Malang menjadi saksi bagaimana bertahan dalam kejamnya tanggal tua, makan dengan nasi dan pilus (kadang plus bon cabe) rasanya sudah bahagia asal masih bisa bertahan hidup. 
Di kota yang penduduknya terkenal dengan sebutan 'Aremania' tersebut aku menimba ilmu. Setiap hari bermain dengan huruf-huruf Cina yang bentuknya seperti cacing lagi nari balet. Merelakan jam tidur, jam makan, jam nongkrong demi mengerjakan makalah, demi mengedit video, demi menerjemahkan berlembar-lembar teks, demi presentasi, demi menghafal hanzi untuk kuis, demi apa saja asal bisa memakai toga dan mendapat gelar Sarjana. Pernah suatu hari sampai mabok gara-gara seharian mengikuti acara yang isinya orang Tionghoa, mendengarkan mereka ngomong dan menanggapi omongan mereka selama kurang lebih 12 jam, lalu besoknya ketemu lagi dengan dosen asli Tiongkok sebanyak dua mata kuliah, dan akhirnya tubuhku tumbang. muntah-muntah. badan demam. ditelinga terngiang-ngiang suara orang ngomong pake bahasa mandarin. Dan nggak jarang, ngerjain tugas sampai nangis-nangis gara-gara nggak tau mau gimana ngerjainnya, kadang gara-gara udah mau selesai tapi program editing videonya error, ada aja, dan semua itu indah ketika dikenang.
Pertama kali menyandang gelar mahasiswi Sastra Cina Brawijaya jujur saja aku sama sekali tidak bersyukur. aku seperti kebelowok di lubang yang salah, karena yang ku inginkan saat itu hanya jurusan hubungan internasional. Tapi seperti kata pepatah "witing tresno jalaran soko kulino", seperti itulah aku kepada Sastra Cina. aku mencintai semua yang ada disana. mata kuliahnya, dosen-dosennya, mahasiswanya, tempat kuliahnya, bahkan tugas-tugasnya sekalipun. Kalau mendengarkan lagu Ada Band yang liriknya 'walau badai menghadang, ingatlah ku kan selalu setia menjagamu..', aku selalu teringat Sastra Cina. Teringat bagaimana perjuanganku dan orang-orang hebat disana. Ingat bagaimana susah payah kita berjuang untuk gelar 'sarjana', berjuang untuk 'pengakuan', dan berjuang untuk Himpunan. Sudah biasa mendengar pertanyaan "emang di UB ada Sastra Cina?" atau "jurusanmu nggak ada mabanya ya?". Saat jurusan lain mahasiswanya beratus-ratus, dan seangkatanku cuman 45 orang, lalu berkurang 1, berkurang 1 lagi, berkurang 1 lagi, kami tetap bergandengan tangan untuk berjuang bersama.
Malang mempertemukanku dengan orang-orang hebat seperti Mbak Tami, yang membuatku suka makan sayur, yang membuatku suka memasak, yang selalu bilang "Lit, susu kotak kalo di kulkas cuman bertahan 3 hari, habis dibuka buruan ditutup karena ntar banyak bakteri yang masuk". Nina, perkenalan singkat kita di tempat nyuci di kos, lalu berlanjut dengan pinjem-pinjeman indomi* dan telur, lalu berlanjut dengan curhat bareng dan nangis bareng. Mbak Titi, yang paling tua di kosan, yang suka mengajakku jalan-jalan dengan march abu-abunya. Mbak Dina, yang kalau mau makan harus menghitung kalori dulu, tapi sering khilaf kalau malem-malem aku bawa nasi goreng. Mereka berempat adalah teman kos pertama sekaligus terbaik yang pernah ku kenal. dan Bu Rofiq adalah Ibu kos paling hebat yang pernah aku temui. Sayur sopnya adalah makanan paling lezat di Malang. Kalau aku sakit, beliau yang mengantarku ke dokter dan mengeroki punggungku, membuatkan teh hangat, menemaniku tidur. Beliau sangat menyayangiku sebagaimana seorang Ibu menyayangi anaknya.
Ya, Malang bukan sekedar kota perantuan bagiku. Malang kota yang memberi arti, memberi cerita, memberi kenangan, memberi pelajaran. Malang seperti rumah bagiku, sejauh apapun pergi, Malang adalah tempat yang paling nyaman dan akan selalu membawaku kembali.


Nurullita Haq
Bojonegoro, 26 Januari 2015
08.33 No komentar
kalau aku membuka hati nanti, semoga itu aku membukanya untuk orang yang tepat. Kalau aku membuka hati nanti, semoga itu yang terakhir karena aku tak mau lagi hatiku ditempati, dikacaukan, lalu membuatku begitu susah mempercayai bahwa di sana kelak ada orang yang tepat yang bisa menjaganya. kalau aku membuka hati nanti, semoga yang memasukinya adalah orang yang di hatinya juga hanya terdapat aku dan sang pencipta. kalau aku membuka hati nanti, semoga aku membukakan untuk orang yang meski tidak sempurna tapi selalu mencoba mengajakku membentuk bahagia. untuk orang yang tak hanya membuatku berjuang, tapi ia juga mati-matian memperjuangkanku. dan untuk orang yang mengajakku berbagi tawa dan tangis tanpa mengenalkan padaku apa itu luka dan kecewa.
09.40 No komentar

About me

About Me


Follow Us

recent posts

Blog Archive

  • ▼ 2015 ( 1 )
    • ▼ Januari ( 1 )
      • Malang, Bukan Sekedar Kota Perantauan
  • ► 2013 ( 1 )
    • ► Desember ( 1 )
FOLLOW ME @litahaq_>

Created with by ThemeXpose